publikasikaltim.id, KUTAI TIMUR – Wakil Bupati Kutai Timur, Mahyunadi, menyoroti ketergantungan daerahnya terhadap bibit sawit dari luar daerah, terutama Sumatera. Dalam pertemuan dengan tim Sustainable Landscape of Palm Oil Initiative (SLPI) United Nations Development Programme (UNDP), ia menyampaikan bahwa hingga kini Kutim belum memiliki inisiatif riset untuk mengembangkan bibit sawit sendiri yang sesuai dengan karakter tanah setempat.
“Kalau di Sumatera bisa, kenapa Kutim tidak?” ujar Mahyunadi dalam pertemuan yang berlangsung di Pelangi Room Hotel Royal Victoria, Sangatta.
Menurut Mahyunadi, ketiadaan riset menjadi akar persoalan utama. Kutim selama ini belum memiliki gagasan untuk mengembangkan bibit lokal. “Belum ada ide ke arah sana. Makanya saya mendorong agar Kutim memulai langkah ini. Kalau ada riset, nanti bisa diarahkan untuk dibiayai oleh daerah,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa riset bibit sawit idealnya mencakup satu siklus tanam, sekitar 20 hingga 25 tahun. Namun, ia optimistis percepatan bisa dilakukan jika ada fokus dan dukungan teknologi. “Kalau riset terfokus, mungkin 5 tahun ke depan kita sudah bisa mulai menghasilkan bibit yang sesuai tanah Kutim,” katanya.
Langkah tersebut dinilai penting bukan hanya untuk kemandirian pasokan bibit, tetapi juga untuk efisiensi produksi jangka panjang dan kesesuaian dengan kondisi tanah Kutim yang berbeda dari wilayah lain.
Dalam kesempatan yang sama, Pemkab Kutim dan UNDP membahas pelaksanaan Rencana Aksi Daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAD KSB), yang diselaraskan dengan strategi ekonomi hijau Kalimantan Timur serta kebijakan nasional RAN KSB.
Forum Multipihak Pembangunan Berkelanjutan Kutai Timur (Formika) turut didorong untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah, koperasi, perusahaan, dan masyarakat. UNDP Indonesia memperkenalkan pendekatan Effective Collaborative Action (ECA) untuk memastikan seluruh pemangku kepentingan berperan aktif dalam pembangunan berkelanjutan.
Sebagai bagian dari rangkaian agenda, tim UNDP SLPI melakukan kunjungan ke sejumlah desa, seperti Muara Bengalon, Tepian Baru, dan Miau Baru, guna memahami langsung tantangan lapangan dan peluang inovasi dari petani sawit di tingkat akar rumput.
Mahyunadi berharap inisiatif riset bibit lokal dapat menjadi pijakan awal menuju transformasi industri sawit Kutim yang lebih adaptif dan mandiri.(adv/kominfokutim/ver/pb1)







